Selasa, 09 Maret 2010

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah,
dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami
tidak punya lagi banyak kata.

Kampung Baru, Bandarlampung, 3 Februari 2010

RUMAH YANG TERTUMPUK

kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula.
memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa
aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.

maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan.
yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa berkas. Beberapa,
di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa?
Besok saja, saya lelah.

maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan.
yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan. Berapa usiamu?
sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.

maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak.
batas antara halaman, dan ruang tengah lapang.

maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk pikiran.
biarkan ia bercorak tanda tangan.

Tuan, ada di rumah?